Senin, 19 Januari 2009

KEkuATan Doa

Sendirian mengantarkan delapan anaknya menjadi orang berilmu dan shalih. Salah seorang di antaranya bahkan menjemput syahid.

Hari itu, 30 tahun lalu, duka menyelimuti Musa’adah. Muhammad Basri, suaminya tercinta dipanggil Allah. Ia ditinggali enam orang anak dan bayi yang masih dalam kandungan (belakangan diketahui anak di dalam kandungan itu kembar dua). Status janda saja sudah menjadi beban tersendiri, apalagi ditambahi delapan anak yang masih kecil-kecil, jelas merupakan beban yang amat berat. Namun Sa’adah, demikian ia biasa dipanggil, tak ingin lama-lama larut dalam kesedihan. Bagaimanapun, kehidupan harus berjalan terus.

Semasa hidupnya, Basri membuka toko kelontong di Kartasura Solo, Jawa Tengah, untuk menafkahi keluarganya. Namun, setelah ia meninggal, toko itu mengalami kemunduran hingga bangkrut. Sa’adah pun memboyong anak-anaknya ke Tempursari Solo, tanah kelahirannya.

Di Tempursari, segala usaha dilakukan oleh perempuan yang lahir 66 tahun yang lalu ini. Mulai dari buka warung kecil-kecilan hingga tukang kredit pakaian. Selama menikah dengan Basri, Sa’adah hanya fokus dalam mengasuh dan merawat anak-anaknya. Kini, ia harus memeras keringat dan membantin tulang, demi buah hatinya.

Tiap malam ia mengadu kepada Allah Ta’ala agar diberi kemudahan dan ketabahan dalam menjalani hidupnya. Ia bertekad mengantarkan anak-anaknya meraih pendidikan setinggi-tingginya.

Dalam menjalankan usaha kreditan baju, Sa’adah mengaku hanya bermodal kejujuran dan amanah. “Kalau kita tidak jujur, rezeki itu tidak akan berkah. Saya hanya mencari keberkahan walaupun sedikit,” katanya.

Sa’adah bersyukur, ketika ditinggal suaminya, ia tidak memiliki hutang sepeser pun. Ia juga berusaha agar tidak berhutang, betapapun sulitnya kehidupan yang ia hadapi. “Saya paling takut kalau punya hutang,” prinsipnya.

Keteguhan hati dan kerja keras yang diiringi doa pada Sang Kuasa, akhirnya membuahkan hasil. Sa’adah mampu mengantarkan anak-anaknya menjadi orang-orang berilmu. Dua di antaranya bahkan meraih gelar doktor, Dr. Mu’inudinillah Basri, MA (putra kedua) dan Dr. Setiawan Budi Utomo, MM (putra ketiga). “Alhamdulillah, semua ini berkat rahmat Allah. Kalau tidak, mana mungkin bisa. Apalagi kalau dihitung secara matematis,” ujarnya.

Rata-rata anak-anak Sa’adah mendapatkan beasiswa ketika menempuh studi S1. Mu’in dan Budi bahkan mendapat beasiswa hingga ke jenjang S3. Mu’in mendapat beasiswa sejak di LIPIA Jakarta. Berbekal prestasinya yang mengagumkan, selalu peringkat pertama, ia ditawari melanjutkan studi S2 di Saudi Arabia. Tak hanya S2, di negeri petro dolar itu pula Mu’in mendapatkan gelar doktornya. Demikian pula dengan Budi, semua jenjang pendidikannya, mulai dari S1 hingga S3 ditempuh dengan beasiswa.

Sa’adah lebih mementingkan pendidikan agama bagi anak-anaknya ketimbang pendidikan umum. Anak-anaknya ia sekolahkan di madrasah dan pondok pesantren. “Sejak dulu saya bercita-cita punya anak-anak yang jadi ulama,” katanya.

Ia pun mengarahkan mereka supaya belajar secara serius dan sungguh-sungguh agar mendapatkan beasiswa. Sa’adah sadar dengan kondisi ekonomi keluarganya yang pas-pasan. Oleh karena itu, ia meminta anak-anaknya untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan belajar.

Alasan lain yang membuatnya lebih memilih pendidikan pesantren ketimbang pendidikan umum adalah, karena ia ingin melihat anak-anaknya bisa menghafal al-Qur’an. Setiap malam, ketika shalat Tahajjud, Sa’adah selalu berdoa agar anak-anaknya bisa hafidz (penghapal al-Qur’an). Do’a Sa’adah dikabulkan Allah, empat anaknya berhasil hapal al-Qur’an. Mereka adalah Mu’inudinillah Basri, Setiawan Budi Utomo, dan si kembar Ahmad Syafiuddin dan Ahmad Nurdin (almarhum). “Alhamdulillah, saya bersyukur karena doa saya dikabulkan”, ujar Sa’adah terharu.

Menurut nenek tujuh belas cucu ini, hal terpenting yang ia tekankan pada anak-anaknya adalah tentang keseriusan dan kedisiplinan serta tidak melupakan shalat lima waktu. Hal inilah yang dapat mengundang rahmat dan berkah Allah Ta’ala.

Satu hal yang dipesankan Sa’adah. Jagalah lidah agar tidak mengeluarkan omongan yang tidak baik. Karena, kata Sa’adah, ucapan adalah do’a. Ia sering miris melihat orang tua mengatai anak-anaknya dengan kata-kata yang buruk ketika anak-anaknya berbuat nakal. ”Saya sampai istighfar berkali-kali jika melihat hal yang demikian. Berhati-hatilah kalau berkata-kata yang tidak baik pada anak-anak!” pesannya.

Sa’adah juga selalu mendidik anak-anaknya agar peduli dan berempati dengan penderitaan orang lain. Menurutnya, setiap memperoleh rezeki, kita harus sadar bahwa di situ ada hak orang lain. “Jangan eman (sayang) dalam membantu orang!” nasehat yang selalu ia sampaikan.

Tidak ada komentar: